nah, cerpen ini inspirasinya datang dari 2 lagu, yang pertama "Marry Your Daughter"-nya Brian McKnight, yang kedua itu "Wedding Dress"-nya Taeyang.
jadi ceritanya itu pas jaman-jaman gua baru menenal lagu Marry Your Daughter dan sempat terobsesi beberapa saat bahwa suatu saat nanti akan ada yang nyanyi lagu ini ke bokap gua fufufufufu :3
terus itu juga pas jaman-jaman gua baru beberapa bulan mengenal bigbang dan lagi demen-demennya sama Taeyang dan Wedding Dress adalah lagu favorit gua dari taeyang.
Marry Your Daughter by Brian McKnight
Wedding Dress by Taeyang
sooooo... here's the story:
“Hadirin yang berbahagia, sebentar lagi kita akan tiba pada acara puncak di malam hari ini, yaitu prosesi pertukaran cincin. Sebelum itu, kita dengarkan dulu sebuah lagu yang akan dipersembahkan oleh Aryo.”
Di sinilah aku sekarang, di dalam sebuah ruangan mewah yang didekorasi dengan indah untuk acara pertunangan. Aku sedang duduk di hadapan sebuah grand piano yang terletak di sudut ruangan, tepat di sebelah meja utama, menciptakan nada-nada indah lewat tarian jari-jariku di atas tuts sambil menyanyikan lirik lagu “Marry Your Daughter”.
Sir, I'm a bit nervous about being here today
Still not real sure what I'm going to say
So, bear with me please if I take up too much of your time.
Aku tidak mengerti bagaimana lagu ini bisa pas sekali dengan suasana hatiku saat ini. Saat ini aku benar-benar gugup. Bagaimana tidak? Lagu ini kutujukan kepada ayah dari wanita yang kucintai selama 10 tahun terakhir. Melalui kata-kata yang kunyanyikan, aku memohon pada pria setengah baya itu untuk memberikan putrinya kepadaku. Sudah bertahun-tahun aku mengenal pria itu dan hubungan kami bisa dibilang dekat, namun terkadang aku masih merasa segan padanya. Mungkin karena pembawaannya yang tegas dan sedikit sangar.
Awalnya tidak pernah terlintas di benakku untuk menyanyikan lagu ini. Aku hanya berencana untuk mengikuti jalannya acara pertunangan tanpa mempersembahkan pertunjukan apa pun, tetapi sahabatku Bima ternyata memiliki bakat membujuk yang lebih tinggi daripada agen asuransi.
“Yo! Lo harus nyanyi lagu ini waktu acara pertunangan!”
“Lagu apa?”
“Ini nih, lagu Bryan McKnight. Judulnya “Marry Your Daughter”. Dengerin dulu nih,” kata Bima sambil memutar sebuah lagu dari ponselnya. Aku mendengarkan lagu itu dengan seksama, menikmati nadanya dan mencermati liriknya.. Lagu itu menggambarkan bagaimana situasi yang dihadapi seorang pria saat melamar wanita yang dicintainya di hadapan ayah si wanita. Bima benar, lagu ini memang cocok dinyanyikan saat acara pertunangan, tetapi haruskah aku menyanyikannya?
“Lagunya bagus, kan? Lo setuju mau nyanyi lagu ini, kan?”
“Bagus sih lagunya, tapi nggak deh, gue nggak mau nyanyi lagu ini di acara pertunangan,” kataku pada Bima.
“Yaaaah…. Kenapa?” tanya Bima sambil memasang wajah sedih dan kecewa.
“Kenapa ya? Hm…. Nggak percaya diri aja,” jawabku sekenanya.
“Lo ga percaya diri? Hahahahaha nggak usah banyak alasan deh! Suara lo kan bagus, Yo. Lo juga sering nyanyi di acara pernikahan. Ini kan cuma pertunangan, masa nggak percaya diri sih?”
“Pokoknya gue nggak mau,” tegasku.
“Ayolah, Yo. Ini kan acara penting, lagunya pas dengan suasana acara pula. Pasti nanti acaranya jadi berkesan deh. Nanti lo nyanyi sambil main piano, beeeeeehhhh, pasti orang-orang jadi terenyuh dan tersentuh. Gimana? Oke kan?” bujuk Bima sambil menaik-naikkan alisnya.
“Lah, kok sekarang lo nyuruh gue main piano juga sih?”
“Itu kan bakat lo. Tunjukkanlah bakat itu pada semua orang! Siapa tahu nanti ada produser musik yang datang, terus dia tertarik sama suara dan permainan piano lo, terus lo diajak rekaman deh. Keren, kan? Ini namanya menyelam sambil minum air.”
“Ini kenapa jadi ngelantur ke produser musik, sih? Udah, gini aja, gue yang main piano, lo yang nyanyi. Kan lo yang terobsesi dengan lagu itu,” tawarku.
“Kalau suara gue sebagus suara lo, gue pasti inisiatif nyanyi lagu ini saat acara pertunangan nanti. Sayang aja suara gue memprihatinkan.”
“Gue ngeri sama bokapnya Cindy, mukanya galak,” aku mencari alasan lain.
“Eh, waktu acara pertunangan nanti pasti suasana hatinya lagi bagus banget. Gue jamin dia akan senyum sumringah sepanjang acara, lo nggak bakal melihat tampang sangarnya,” Bima berusaha meyakinkanku.
“Tetap aja, Bim. Gue ngerasa nggak sreg.”
Bima hampir putus asa dalam meyakinkanku, tetapi kemudian sambil tersenyum penuh kemenangan, ia berkata, “Cindy pernah bilang dia mau lagu ini dinyanyikan di pesta pertunangannya.”
Sialan. Bima tahu kata kuncinya. Ia paham betul aku tidak pernah menolak permintaan Cindy. Tepat setelah Bima mengakhiri kalimat pamungkas itu, aku menyerah. Aku setuju untuk mempersembahkan lagu itu pada pesta pertunangan.
See in this box is a ring for your oldest.
She's my everything and all that I know is
It would be such a relief if I knew that we were on the same side
Sekilas aku melirik ke kotak kecil yang terletak di atas meja utama, tepat di hadapan Cindy yang tersenyum manis sambil mendengarkan nyanyianku. Kotak itu berisi cincin cantik yang aku pilih untuk diberikan kepada Cindy. Sangat sulit mencari cincin yang pas untuknya. Aku dan Bima harus keluar-masuk delapan toko perhiasan sampai akhirnya menemukan cincin yang tepat. Kami hampir menyerah di toko perhiasan ketujuh dan Bima yang kelelahan ngotot memilih cincin mahal berhiaskan berlian yang besar ala cincin pertunangan artis Hollywood karena ia malas mencari di toko selanjutnya.
“Yang ini aja deh. Bagus, kan, Yo?” Bima menanyakan pendapatku tentang cincin yang sedang dipegangnya.Cincin itu memang cantik, tetapi aku merasa berlian seukuran buah anggur itu terlalu besar untuk menghiasi jari Cindy yang ramping.
“Nggak ah. Berliannya terlalu besar. Cindy kan nggak suka pake perhiasan yang terlalu mewah,” jawabku.
“Tapi ini bagus banget. Artis-artis juga pada pakai cincin yang modelnya kayak gini. Iya kan, Mbak?” Bima meminta persetujuan dari penjaga toko yang diikuti anggukan antusias dari gadis itu.
“Cincin ini nggak cocok buat Cindy, Bim. Ayo kita cari di toko lain.”
Aku hampir menyeret Bima keluar dari toko ketujuh untuk beranjak ke toko selanjutnya. Bima menggumamkan kekesalannya dan terus mengingatkanku betapa cantik dan mewah cincin pilihannya tadi. Aku hanya diam sambil memandu jalan menuju toko selanjutnya. Setibanya di depan toko perhiasan kedelapan yang kami kunjungi hari itu, aku melihatnya. Di atas etalase modern toko itu terpajang cincin yang langsung menarik perhatianku dan langsung mengingatkanku pada Cindy.
Cincin itu sederhana, terbuat dari emas putih yang bertahtakan berlian-berlian kecil membentuk hati di tengahnya. Begitu aku menunjukkannya pada Bima, ia mengangguk kencang. Bima langsung sepakat bahwa cincin itu sangat cocok dengan selera Cindy yang menyukai perhiasan klasik dan sederhana. Bima boleh saja memiliki talenta pandai membujuk orang untuk mengikuti kemauannya, namun kalau soal selera, aku jelas memiliki selera yang lebih tinggi dan lebih sesuai dengan kemauan Cindy.
She's been here every step
Since the day that we met
(I'm scared to death to think of what would happen if she ever left)
So don't you ever worry about me ever treating her bad
Aku sudah mengenal Cindy selama kurang lebih 10 tahun. Aku, dia, dan Bima adalah sahabat sejak kelas satu SMA. Setiap hari sepulang sekolah, aku selalu mengantar Cindy pulang ke rumahnya. Kebiasaan ini berlanjut sampai kami kuliah, bahkan sampai kami bekerja. Aku ingin selalu memastikan ia sampai di rumah dengan selamat. Lewat hal sederhana ini, aku menunjukkan rasa sayangku pada Cindy.
I've got most of my vows done so far
(So bring on the better or worse)
And 'til death do us part
There's no doubt in my mind
It's time
I'm ready to start
I swear to you with all of my heart...
Semasa SMA dulu jika aku sedang bosan saat pelajaran berlangsung, aku selalu menulisi buku catatanku dengan lirik lagu-lagu cinta. Tidak lupa aku menulis “For Cindy” sebelum aku menulis baris-baris lirik lagu dari penyanyi-penyanyi terkenal. Lirik lagu favoritku? Tentu saja “I Swear” dari boyband All 4 One. Kata-kata dalam lagu itu begitu dalam dalam mengungkapkan bagaimana si penyanyi akan selalu mencintai kekasihnya sampai kapan pun. Aku rasa lagu ini dengan tepat menggambarkan rasa cintaku pada Cindy.
The first time I saw her
I swear I knew that I'd say I do
Masih terekam jelas dalam ingatanku kejadian saat aku pertama kali melihat Cindy. Hari Selasa tanggal 17 Juli 2001. Aku sedang menikmati bekal bersama Bima di kantin pada waktu istirahat ospek. Kantin dipenuhi siswa-siswa baru yang asyik mengobrol sambil menikmati makan siang. Dari sekian banyaknya orang di kantin pada waktu itu, Cindy langsung menarik perhatianku ketika mataku melihat sosok gadis berkuncir dua yang kelihatan lelah karena serangkaian acara ospek sekolah kami.
“Bim, Bim, lihat deh cewek yang lagi jalan ke arah sini. Cantik ya?” kataku pada Bima.
“Yang mana, Yo?” tanya Bima sambil mencari-cari gadis mana yang kumaksud.
“Itu, yang dikuncir dua. Tuh, tuh, yang barusan kipas-kipas pake name tag-nya,” aku menunjuk ke arah gadis yang kumaksud.
“Oh, ya, ya, ya. Namanya Cindy,” ujar Bima. Ia kembali menunduk dan melahap makan siangnya.
“Cindy? Lo kenal, Bim? Kenalin gue dong,” pintaku antusias.
“Baca dong, itu ada namanya di name tag,” Bima masih tidak melepaskan pandangannya dari kotak makan yang kini sudah setengah kosong.
“Oh iya, hehehehehe. Cantik, ya, Bim?” tanyaku lagi.
“Hm,” jawab Bima tak acuh.
“Gue harus dapetin dia,” ujarku dengan mantap. Bima tersedak setelah mendengar ucapanku.
“Hahahahahahha, semangat banget lo! Semangat sih boleh, tapi lo berani ngomong sama dia? Lo kan dari dulu pemalu kalo di depan cewek yang lo suka,” goda Bima
“Iya, nanti gue kenalan sama dia,” pandanganku masih tidak bisa lepas dari sosok Cindy.
“Good luck, Yo,” kata Bima sambil menahan tawa.
Aku memang memiliki catatan buruk dalam hal berkomunikasi dengan gadis yang kusukai. Saat ingin mengungkapkan perasaanku, aku selalu merasa gugup dan bicaraku jadi gagap. Kakiku bahkan langsung lemas saat memikirkan akan mengungkapkan rasa sukaku pada seseorang. Tetapi itu kan dulu, saat aku masih duduk di bangku SMP. Aku sudah menjadi siswa SMA, pasti aku sudah lebih dewasa dan lebih berani dalam menghadapi gadis yang kusuka. Saat itu juga, aku bertekad akan menjadikan Cindy sebagai kekasihku.
I'm gonna marry your daughter
And make her my wife
Kusampaikan keinginanku untuk menikahi Cindy lewat lagu ini sambil menatap ayah Cindy. Pria yang biasanya kelihatan galak itu tersenyum seakan mengatakan ia mengerti dan memberikan restu padaku.
I want her to be the only girl that I love for the rest of my life
And give her the best of me 'till the day that I die
Kali ini aku menyanyikan dua baris lirik lagu itu sambil memandang Cindy. Aku meyakinkannya bahwa hanya dialah wanita yang kucintai selama sepuluh tahun terakhir dan aku yakin akan terus mencintainya, entah sampai kapan.
I'm gonna marry your princess
And make her my queen
She'll be the most beautiful bride that I've ever seen
Cindy memang belum memilih gaun pengantinnya, tetapi aku yakin gaun apa pun yang akan dikenakannya nanti tidak akan mengubah pendapatku. Ia akan selalu menjadi gadis tercantik yang pernah aku lihat.
I can't wait to smile
As she walks down the aisle
On the arm of her father
Membayangkan Cindy berjalan didampingi ayahnya menuju altar, tempatku menunggu dirinya sambil tersenyum, selalu membuatku merinding. Itu akan menjadi momen terindah dalam hidupku
On the day that I marry your daughter
Ketika aku mengakhiri lagu itu, hatiku langsung lega. Akhirnya aku bisa mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya. Aku tidak tahu apakah tepuk tangan orang-orang yang ada dalam ruangan ini merupakan tanda bahwa mereka mengerti maksud yang kusampaikan lewat lagu tersebut atau hanya mengapresiasi suara dan permainan pianoku, namun aku tidak peduli.
“Sebuah lagu yang sangat indah telah dibawakan dengan penuh penghayatan oleh sang best man, Aryo. Sekarang adalah saat yang telah kita tunggu-tunggu, yaitu prosesi pertukaran cincin oleh sepasang kekasih yang sangat berbahagia pada malam hari ini, Bima dan Cindy,” tepuk tangan yang lebih meriah terdengar lagi setelah MC menyelesaikan kalimatnya.
Dari tempat dudukku di dekat meja utama, aku tersenyum saat melihat Bima memasangkan cincin pilihanku di jari manis Cindy. Pada akhirnya, aku memang tidak pernah menyatakan perasaanku pada Cindy. Ya, aku masih menjadi Aryo semasa SMP, Aryo yang tidak pernah berani menyatakan perasaan kepada gadis yang disukai. Karena gengsi mengaku bahwa aku tidak berani mengungkapkan perasaanku pada Cindy, kukatakan pada Bima pada hari kelulusan SMA bahwa aku sudah tidak menyukai Cindy lagi. Tak kusangka, tiga tahun kemudian Bima dan Cindy menjadi sepasang kekasih.
Aku memang tidak akan menikahi Cindy, tetapi aku masih bisa menunggunya di depan altar. Aku akan berdiri di sebelah Bima sambil tersenyum dan memandang Cindy berjalan perlahan didampingi ayahnya menuju tempat di mana ia akan mengucapkan janji pernikahan. Aku akan sangat senang meskipun aku hanyalah seorang best man.